
Dalam ajaran Islam, kita sering mendengar istilah kafarat. Kafarat, yang secara harfiah berarti ‘menutup’ (dari kata kafr), dimaknai sebagai upaya untuk menutupi dosa dan kembali kepada Allah setelah melanggar ketentuan agama. Sebagaimana dijelaskan dalam Lisan al-‘Arab, inti dari kafarat adalah penghapusan kesalahan dengan cara bersedekah, berpuasa, atau melakukan bentuk ibadah lainnya.
Wahbah Zuhaili, seorang pakar fikih kontemporer, membagi kafarat menjadi empat kategori utama: kafarat zhihar, kafarat pembunuhan tidak sengaja, kafarat hubungan intim di siang hari bulan Ramadan yang disengaja, dan kafarat sumpah.
Ketentuan ini bersumber dari firman Allah dalam Surah Al-Ma’idah ayat 89, adalah sebagai berikut:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Ma’idah: 89)
Secara bahasa zhihar diambil dari kata zhahr yang berarti ‘punggung’. Sebab, gambaran asal zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku.”
Secara istilah, zhihar adalah ungkapan suami menyerupakan istrinya dengan salah seorang mahramnya, seperti ibu atau saudara perempuan. Di zaman Jahiliyah, masyarakat Arab menganggap zhihar sebagai salah satu cara talak. Namun, syariat Islam menetapkan zhihar dengan ketentuan lain selain talak. (Lihat: Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, Terbitan Darul-Qalam, juz IV/146).
Dengan kata lain, ungkapan zhihar berasal dari suami, bukan dari istri. Artinya, jika istri mengucapkan hal serupa, maka tidak dianggap zhihar.
Kafarat jenis ini memiliki landasan dalil sebagai berikut:
“Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mujadalah (58): 2)
ungkapan zhihar juga ada dua macam, yakni sharih dan kinayah. Ungkapan sharih adalah ungkapan yang tidak mengandung makna lain selain makna zhihar meskipun tidak disertai niat orang yang mengucapkannya.
Contoh ungkapan sharih adalah ungkapan suami kepada istrinya, “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku,” atau, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” atau “Bagiku kamu seperti badan, tubuh, jasad, fisik, diri, keseluruhan ibuku.” Alasan penyebutan badan, tubuh, jasad, fisik dan diri, termasuk ungkapan sharih karena mencakup makna punggung. Berbeda halnya dengan hidung, mata, atau alis yang biasa dipuji. (Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, juz IX/7138).
Sementara ungkapan kinayah adalah ungkapan yang kemungkinan masih mengandung makna lain selain zhihar. Contohnya ungkapan suami terhadap istrinya, “Bagiku kamu seperti ibuku,” atau “Bagiku, kami seperti saudara peremepuanku,” atau “Di hadapanku, kamu seperti ibu atau saudariku,” atau “Bagiku kamu seperti mata ibuku.” Artinya, jika seorang suami mengucapkan kata-kata itu, maka maknanya berpulang kepada niat atau maksud orang yang mengucapkannya. Jika ia bermaksud zhihar, maka ungkapan itu menjadi zhihar. Namun, jika ia bermaksud menyanjung, memuji, atau memuliakan istrinya tidak menjadi zhihar.
Sumber: Nu Online
Hal ini bermaksud sebagai tindakan menghargai pasangan tanpa membandingkan dengan ibunya. Dosa ini dapat ditebus dengan cara memerdekakan hamba sahaya perempuan muslim. Apabila tidak mampu, maka dapat berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Apabila masih tidak mampu juga, maka dapat membeli makanan bagi 60 orang miskin.
Kafarat pembunuhan yang tidak disengaja dapat ditebus dengan memerdekakan hamba sahaya perempuan muslim. Apabila tidak mampu, maka dapat berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Kafarat ini memiliki landasan dalil sebagai berikut:
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa (4): 92)
Dalam bulan suci Ramadan, pasangan suami istri diharamkan untuk melakukan hubungan intim pada siang hari. Bila larangan ini dilanggar, diwajibkan bagi mereka untuk membayar kafarat. Bentuk kafaratnya adalah dengan memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan yang beragama Islam. Jika tidak mampu melakukannya, kewajibannya diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadan. Beliau bersabda, ‘Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.’ Dijawab oleh laki-laki itu, ‘Aku tidak mampu.’ Beliau kembali bersabda, ‘Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.’ Dijawab lagi oleh laki-laki itu, ‘Aku tak mampu.’ Beliau kembali bersabda, ‘Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin’.” (HR Al-Bukhari)
Dalam Mazhab Syafi’i, suami berkewajiban membayar denda kafarat dan istri tidak berkewajiban membayar. Jika istri sanggup, ia dapat meng-qada puasa sebagai bentuk pertobatan. Adapun pendapat Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, apabila keduanya (suami-istri) melakukan senggama secara sukarela, maka wajib menanggung denda kafaratnya.
Kafarat dapat dilakukan dengan membebaskan hamba sahaya atau cara paling sederhana dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila tak mampu, maka dapat memberi makanan pokok sebanyak 1 mud (750 gram) kepada masing-masing 60 orang miskin. Dalam hal ini, beberapa lembaga penyalur dapat membantu seorang yang harus membayar kafaratnya. salah satunya adalah Dompet Dhuafa Jabar.
Kafarat sumpah dilakukan ketika seseorang melanggar sumpah atau menyatakan sumpah palsu. Cara membayar kafarat sumpah ini adalah dengan memberi makan 10 orang miskin dengan makanan yang sama seperti yang dimakan keluarga atau memberi pakaian atau memerdekakan hamba sahaya. Apabila tidak mampu, maka diharuskan berpuasa tiga hari berturut-turut. Berikut merupakan landasan dalil kafarat sumpah:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (Q.S Al-Maidah ayat 89)
Denda kafarat dapat dibayarkan sebelum bertemu dengan bulan Ramadan di tahun berikutnya. Batas maksimalnya yakni akhir bulan Sya’ban atau rentang waktu 11 bulan.
Pembayaran denda dapat dicicil. Cara memberi makan 60 fakir miskin dapat diangsur sesuai kemampuan. Perlu diperhatikan kembali, penyaluran denda kafarat harus diberikan kepada 60 orang yang berbeda-beda.
Kedudukan kafarat sama seperti zakat, yaitu wajib. Maka mayoritas ulama melarang penyaluran kafarat kepada nonmuslim.
Apabila Sahabat ingin menuntaskan denda dengan cara berpuasa, maka berikut bacaan niatnya:
Nawaitu sauma gadin likaffarin lillahi ta’ala
Artinya: “Saya niat puasa esok hari untuk menunaikan kafarat (dalam hati menyebutkan puasa kafaratnya) fardu karena Allah Ta’ala.”
Demikianlah penjelasan ringkas seputar kafarat, mencakup berbagai jenis dan tata cara pembayarannya. Menyambut bulan Ramadan yang sudah di depan mata, mari kita sempurnakan ibadah dengan menunaikan kewajiban ini. Untuk konsultasi dan informasi lebih lanjut mengenai besaran nominal kafarat yang perlu ditunaikan, Anda dapat menghubungi layanan Dompet Dhuafa Jabar.